Penetapan Harga Pokok Produksi
Dalam
laporan keuangan yang telah dibahas dalam bab-bab yang lalu terlihat bahwa
persediaan barang dagang disajikan baik di neraca maupun di perhitungan rugi
laba. Persediaan barang dagang yang tercantum di neraca mencerminkan nilai
barang dagang yang ada pada tanggal neraca, yang biasanya juga merupakan akhir
dari suatu periode akuntansi. Di perhitungan rugi laba, persediaan barang
dagang muncul dalam harga pokok penjualan. Seperti pernah dibicarakan sebelumnya,
harga pokok penjualan dihitung sebagai nilai persediaan barang dagang yang ada
pada awal periode ditambah dengan pembelian bersih yang dilakukan selama
periode dikurangi dengan nilai persediaan barang dagang yang ada pada akhir
periode.
Di atas
telah diterangkan betapa pentingnya nilai persediaan terhadap kelayakan laporan
keuangan. Nilai persediaan barang dagang, seperti telah diterangkan sebelumnya,
ditentukan oleh gabungan dua faktor, yaitu kwantitas
dan harga pokok
.
Kwantitas persediaan dapat dengan lebih cepat diperoleh melalui penghitungan
secara phisik. Harga pokok persediaan seperti yang pernah disinggung sebelumnya
merupakan harga untuk memperoleh tersebut. Disamping harga beli termasuk dalam
harga pokok persediaan adalah semua biaya yang terjadi untuk memperoleh
persediaan tadi, misalnya, biaya pengangkutan, bea masuk dan asuransi.
Biaya-biaya yang susah untuk dihubungkan dengan salah satu jenis barang
tertentu dapat dibagikan sama rata atas suatu dasar tertentu. Biaya-biaya yang
jumlahnya kecil dan susah untuk dialokasikan dapat dikeluarkan sama sekali dari
harga pokok barang dan diperlakukan sebagai biaya usaha periode yang
bersangkutan. Apabila terdapat potongan pembelian, maka nilai potongan
pembelian tersebut secara rata-rata harus diperhitungkan dalam menentukan nilai
harga pokok persediaan yang ada.
Konsep
dasar dari metode penetapan harga pokok barang dibagi dalam beberapa metode
yaitu metode mula-mula masuk mula-mula keluar (first in-firs out atau FIFO),
metode masuk pertama keluar (last in first-out atau LIFO) dan metode harga
pokok rata-rata (average).
Dalam bab-bab yang lalu telah dijelaskan
bahwa harga pokok pen jualan untuk suatu periode tertentu dihitung berdasarkan
rumus: persediaan awal ditambah dengan pembelian bersih dikurangi dengan
persediaan akhir. Angka untuk pembelian bersih dapat diambil dari saldo perkiraan
yang bersangkutan di buku besar. Angka-angka untuk persediaan awal dan akhir
diperoleh dengan jalan melakukan perhitungan phisik atas persediaan yang ada di
awal dan akhir periode sehingga kwantitas persediaan yang ada dapat
ditentukan. Harga pokok untuk persediaan yang ada di awal dan akhir periode
ditetapkan dengan mengalikan kwantitas tadi dengan harga pokok per-unit. Harga
pokok per unit mana yang akan dipakai akan tergantung pada metode penetapan
harga pokok yang dipilih.
Anggaplah bahwa persediaan yang ada di
awal periode (1 Januari 1985) dan pembelian-pembelian yang dilakukan selama
tahun tersebut j nampak seperti terlihat di bawah ini.
Harga
pokok Nilai
Tanggal Keterangan Kwantitas Per
Unit Harga Pokok
1
Jan. 1985 Persediaan awal 100 Rp
80 Rp 8.000
31
Mart. 1985 Pembelian 400 100 40.000
15
Sept. 1985 Pembelian 300 150 45.000
18
Nov. 1985 Pembelian 200 200 40.000
31
Des. 1985 Tersedia dijual 1000 Rp 133.000
Perhatikan bahwa dalam contoh di atas
persediaan yang ada di awal periode sudah ditentukan kwantitas maupun harga
pokok per unitnya. Dalam praktek nilai harga pokok persediaan di awal periode
tersebut harus ditentukan seperti yang akan dilakukan terhadap persediaan di
akhir periode berikut ini.
Anggaplah kemudian bahwa menurut
penghitungan phisik yang dilakukan pada tanggal 31 Desember 1985 persediaan
yang masih tersisa adalah 300 unit. Persoalan penetapan harga pokok akan
berhubungan dengan menentukan harga pokok per unit yang harus diterapkan untuk
kwantitas tadi.
Apabila perusahaan yang bersangkutan
menggunakan metode FIFO, maka ini berarti bahwa persediaan akhir akan dinilai
dengan harga pembelian yang paling akhir. Apabila kwantitas pada pembelian
ini tidak cukup banyak untuk diterapkan pada. persediaan akhir,
maka akan diambilkan dari pembelian-terakhir berikutnya, demikian seterusnya.
Ini sesuai dengan anggapan dalam metode
FIFO bahwa biaya yang akan dibebankan ke perhitungan rugi laba adalah biaya-biaya yang paling dahulu dikeluarkan.
Persediaan barang pada tanggal 31 Desember 1985 menurut metode FIFO dihitung
sebagai berikut :
Tanggal Harga
Pokok Total
Pembelian Kwantitas Per Unit Harga
Pokok
18 Nov. 1985 200 Rp 200 Rp
40.000
15 Sept. 1985 100 150 15.000
300 Rp 55.000
Harga pokok penjualan dengan menggunakan
metode ini akan nampak seperti terlihat dalam perhitungan berikut :
Persediaan awal, 1 Januari
1985 Rp 8.000
Pembelian bersih selama
periode . 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp
133.000
Persediaan akhir, 31 Desember 1985 55.000
Harga pokok penjualan Rp 78.000
Sebaliknya apabila perusahaan tadi
menggunakan metode ketentuan LIFO, maka persediaan pada akhir tahunnya
akan dinilai berdasarkan bahwa harga beli yang lebih awal didahulukan.
Persediaan pada tanggal 31 Desember 1985 menurut metode LIFO dihitung sebagai
berikut :
Tanggal Harga
Pokok Total
Pembelian Kwantitas Per Unit Harga
Pokok
1 Januari 1985 100 Rp 80 Rp 8.000
31 Maret 1985 200 100 .20.000
300 Rp 28.000
Harga pokok penjualan dengan menggunakan
metode ini akan nampak seperti terlihat dalam perhitungan berikut :
Persediaan, 1 Januari 1985 Rp 8.000
Pembelian bersih selama periode 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp
133.000
Persediaan akhir, 31 Desember 1985 28.000
Harga pokok penjualan Rp 105.000
Harga pokok rata-rata untuk persediaan
barang yang tersedia dijual selama tahun 1985 dihitung sebagai berikut :
Harga Pokok = Harga
pokok persediaan tersedia dijual
Rata-Rata Kwantitas persediaan tersedia dijual
=
Persediaan pada tanggal 31 Desember 1985
yang harga pokoknya ditetapkan berdasarkan metode ini adalah Rp 39.900 ( 300 x
Rp 133). Harga pokok penjualannya dihitung sebagai berikut :
Persediaan awal, 1 Januari
1985 Rp 8.000
Pembelian bersih selama periode 125.000
Persediaan tersedia dijual Rp 133.000
Persediaan akhir, 31 Desember 1985 39.900
Harga pokok penjualan Rp 93.100
Apabila ketiga metode tersebut di atas
diperbandingkan akan nampak bahwa nilai persediaan dan harga pokok penjualan
yang dihasilkan berbeda. Perhatikan tabel berikut :
Persediaan
Harga Pokok
Akhir Penjualan
Metode
FIFO Rp 55.000 Rp 78.000
Metode
LIFO 28.000 105.000
Metode
rata-rata 39.900 93.100
Akibat dari berbedanya nilai persediaan
akhir dan harga pokok penjualan adalah berbedanya laba bersih, total aktiva
maupun total modal. Laba bersih tertinggi akan diperoleh apabila perusahaan menggunakan
metode FIFO, sedangkan laba bersih terendah akan dihasilkan oleh metode LIFO.
Pada metode FIFO total aktiva dan total modal juga akan menghasilkan angka yang
tertinggi dan metode LIFO menghasilkan angka terendah. Metode rata-rata akan
menghasilkan laba bersih, total aktiva dan total modal diantara nilai menurut
FIFO dan LIFO. Oleh karena ketiga metode tersebut di atas masing-masing
diperbolehkan maka pimpinan perusahaan dapat memilih salah satu dari ketiganya
dengan memperhatikan manfaat yang bisa diambil baginya. Tetapi patut diperhatikan
bahwa analisa seperti yang telah diterangkan di atas hanya terjadi apabila
harga beli barang dagang mengalami kenaikan terus menerus. Apabila harga beli
barang di pasaran mengalami penurunan maka hasil analisa yang diperoleh akan
merupakan kebalikan daripadanya. Dalam keadaan ini, laba bersih dan nilai
persediaan tertinggi akan diperoleh apabila menggunakan metode LIFO dan laba
bersih serta nilai persediaan terendah akan diperoleh apabila menggunakan
metode FIFO. Metode rata-rata tidak berubah. Nilai persediaan dan harga pokok
penjualannya akan terletak diantara metode FIFO dan LIFO.
0 komentar:
Posting Komentar